Candi ke sepuluh setelah gedong terakhir dan tuan kuda
menarik beya, tentu akan membuat kerutan baru, entah
dimana bisa ditemukan rumahMu. Padahal, begitu dekatnya
sesungguhnya, rumah Kita; sebab setiap hari terus saja dilewati atau jangan-jangan cuma jelaga dalam hati.
“Pasti, itu cuma teka-teki”, sergahmu. “Tugur rumah tanpa kubah”
“Bukan”, aku potong. “Ia akan menjelaskan dari mana aku
datang dan sekaligus mengurungkan arah mana sekiranya aku pergi meninggalkanMu”
Ia dekat, begitu dekat; dan lebih tua dari hutan tua. Rimba pinus
dì tanah tinggi, tempat mana mengucur peluh petani desa ini,
bagian dari jiwa yaog pernah merdeka
Tentu, orang pelesiran itu, tak pernah mengira, sebab rintihan
paling menyedihkan memang pantas dilupakan. Tak peduli,
mimpi dari abad kemarin telah terbelenggu, oleh dua pilihan
: benteng tiran atau semua diserahkan!
Kini, makin terbuka pintuNya. Dan selalu tanpa jendela. Juga ketika
Kuda-kuda bergoyang; meninggalkan-Mu!
© gedongsongo, 2000
Thursday, July 16, 2009
serenada kesepuluh
1:55 AM
No comments
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment