01..

“01..

02..

02..

03..

04..

04..

05..

Saturday, July 13, 2019

keranda itu berjalan ke rumah ku


dan keranda itu pun akhirnya berjalan ke rumahku yang
rapuh tapi tegar sebab dibangun di atas ombak jauh dari pasir
namun tetap dekat ke pesisir
lama kutolak duka yang mengiring di belakangnya, cahya
lenguh antara gumuk kelanangan dan ngarai yang kini cemas
tertimbun di sana lalu cinta kita hampir jadi ladang Kurusetra
dendam dialirkan melengkungi pelangi

: duka pun sekarat
saat kita teraniaya

dan keranda itu pun akhirnya berjalan ke rumah ku pelan tapi
pasti menyisakan daunan kering dan impian yang berserakan
di meja sebelum pecah pagi
lama ku dengar suara anak-anak bersorai berebut fajar dalam
rahimMu yang belum jua lepas dari cumbu  tetapi
kehangatannya telah dirampas kupu-kupu yang menandai
tamu paling sopan pagi ini mengetuk pintu berulangkali

: siapa, tanyaku pelan mengambang
tapi keburu semua melayang

© Setro 18082009

pada titik nadir


pada titik nadir bulan redup tengah malam
terkulai janji daun
basah tanah mengembun

duka memanggil-manggil batu
di hati mu!

© gombong, 7 november 2009

hadrah kadisah


seperti ruby dan pantulan cahya matahari di atas mimbar itu
inginNya aku mengabarkan getar tsunami dalam gelap dan
sunyi
bahwa ibuku telah ada dikuburkan sejak sejarah parafasik
dan kebenaran yang kalian abaikan itu

: maka inilah takdirKu

genderang perang hadrah adalah suara dauh, getah pohonan
dan warna cakrawala saat sunset tiba
mengantar peraduan yang tak boleh kelambu melenakan
kami semua
malam dan siang bagai ruby dan pantulan cahya matahari
tak bakal padam mengepung !

© ambal, 18 november 2009

sajak Ling-Lung


: jangan sedih, angin menerbangkan burung kecil itu
di ujung dahan bambu
dan kita jadi pengantin di bawahnya !

dalam sakit yang kedua tak habis kutafsir arak mendung
yang tiap hari berubah coraknya dan tiap saat tak sama
bentuknya
tiap sampai waktunya selalu tanya
yang engKau yang Mana?
ling lung ling lung ling lung
dalam sakit yang kedua belum kering air di mata berulang
kubaca
pola pada rentang pasir di gumuk-gumuk pesisir
yang pagi jadi lekukan tapi sore jadi tangisan
yang ayatMu yang manaMu?
ling lung ling lung ling lung
dalam linglung angin menerbangkan burung
menggetarkan kafir-kafir dalam mati
menebarkan putik-putik dalam hati

: jangan sedih, angin menerbangkan semua bayangan
di ujung semua dahan
dan kita semua jadi pengantin di bawahNya !

© telasih, 2009

Friday, July 12, 2019

stambul bambung-silah


telah hilang nyala kunang
dari gerimis
dari embun tiap huma
dan orang-orang yang terjaga
impian telah lapuk
patung pasir di puncak gumuk

bambung, mengekor klangsir
ratu adil tanpa rumah
berpuluh tahun
beratus tahun
para petinggi yang durhaka
kurang tinggi naik menara
antara batu dan dewa-dewa

silah, sayap kupu-kupu runtuh sebelah
pada bumi tanpa tanah
kearifan telah padat membatu
dan berubah jadi mesiu
lalu tentara membakarnya
di mana-mana

telah hilang nyala kunang
dari malam yang terkekang
mengusut anak-anak gembala
yang tersesat di berasengaja
tubuhnya bergidik
kemerdekaan telah tercabik

© setro, 15 desember 2010

stambul rumah kubah


dan rumah-rumah kubus pun didirikan
mengganti serambi dan pelataran
zaman yang makin riuh
menegakkan masasilam yang kumuh

: kenapa kau pagari tempat suci ini
saat pintu dan batas dunia telah terbuka ?

dan rumah-rumah pun diasingkan
menjauhi kubah dan kaidah
zaman yang meriah
mengubur semua kenangan indah

© watucongol, 2 desember 2010

stambul gumuk Kwadonan


di gumuk Kwadonan
cahya rembulan terbunuh
jejak lembu sisakan keluh
angin menghilir hingga pesisir
begitu juga
rambut perempuan di sana
memahat batu
menjelma batu

di gumuk Kwadonan
senja berkawin dengan mayat
melayani malam-malam kesumat
tak ada lagi impian
tak ada keberanian
birahi dalam keranda
mendesak mu ke penjara

di gumuk Kwadonan
alam tua meretas tembang tua
..swarga aku nunut
neraka aku katut..

: duh,
dan aku mencumbu mayatMu !

© setro, 24 agustus 2010

stambul gumuk Klanangan


di gumuk Klanangan,
sebab angin memindai garam,
masalalu memedihkan udara,
dan luka kembar di tubuh kita.
sedang bisik layup para tetua,
bagai rumputan kering,
diaduk angin yang berpusing.

: kita telah lama abai,
dan lebih banyak mengandai.

di gumuk Klanangan,
sejarah peradaban tak berbunyi,
kearifan yang dibangun angin,
beratus tahun dicekam dingin.
dan saat cuaca bersalin rupa,
serbuan serdadu dari arahmu,
menikam belati dan mesiu.

: kita telah lama abai,
dan lebih banyak mengandai.

di gumuk Klanangan,
bukan hanya pohon dan kentongan,
pasir batu dan keluh lembu,
huma kebun dan stambul gurun.
semua telah lama dibunyikan,
berahut mengatapi khutbah,
di hati mana telah musnah.

© kaibon, 29 desember 2010

Thursday, July 11, 2019

stambul rumah tumbuh


telah tumbuh rumah
di antara sela tetirah
rinduMu menutupkan
sepiKu menguncikan

ingin aku
segera pula menyatu

telah tumbuh rumah
dinding lahat yang tergoyah
pekak suara toa
dari masjidmasjid yang menua

inginlah kami
segera bangun kembali

telah tumbuh rumah
dari jejak yang tengadah
tapi mereka merubuhkannya
sekejap membabibuta

dan rumah yang tumbuh kini
penuh dengan cacimaki

© kebumen, agustus 2010

stambul sang Pemanah


seorang Pemanah. Tak cuma percaya dari apa yang dilihat
oleh matanya yang kasat. Tak ia –sertamerta- melepas anaknya
begitu saja
sebelum yakin. Keyakinan berada di pusat kalbu, di antara aura
dan
batu-batu. Bebatuan yang ditempa laku jagad, bersama waktu
: bersama diri Mu !

seorang Pemanah. KarenaNya mengerti, kapan hati ditetapkan
memagar masa pada kisi. Memutar cakra di matahari, saat ada
yang harus mati

dan air pun mengalir dari matamu dari dukamu dari kematian
anakanak yang dilepas di jalanan. Dan dari katakata
: yang lelah memuat do’a !

© kebumen, 10 mei 2010

tetralogi ketiga: Zuhdi-Rara Yatmi


dengan menisik lenguh dalam angin, Zuhdi bersila
di barat gapura
ruyak rindu lama sewindu, impian tiga ribu petani semangka
dibirukan, langit kusamNya
usai matahari tergelincir
digoyang barisan seratus kafir

lalu sang Garba dengan padma tua, di bawah pusarnya
menyalakan api cinta para piatu, satu-satu

“lekatkan rinduMu ke sini, Zuhdi..”, seru Yatmi rikuh
berkali-kali, gandewa yang meregang payung dukuh
do’a suci debur ombak Klangsir dari jauh

“begini dalamkah dukaMu, Rara..”, Zuhdi menyela
kembang-kembang tunjung mekar
kunang-kunang cahya menebar

tetapi langit lalu pudar
angin mengusung uap Sarem, tembus ke ulu
mengaratkan cinta dalam lembah di hatiNya
o, tisik lenguh kuncup bunga semangka itu
menggetarkan sayap kupu-kupu
dan sayup jeritan petani Zuhdi makin terbaca
ditinggalkan sang Padma yang beranjak tua.

© setro pagi, 19 januari 2010

Wednesday, July 10, 2019

tetralogi kedua: Drupadi-Lima


(telah dilayani ke lima, dalam rahasia candi Sapta Arga
dimana jejak melingkar itu, ragu menua pada waktu)

dan hujan pun menderas dipermainkan
sebelum isi gelas mengering
sebelum daun rimba Astinapura menguning
sedang di luar serambi Dadu
tak ada yang tahu betapa Ku !

: betapa dunia telah dibelah sungkawa
anak-anak Pendawa melambungkan wangi Bakung
di Kurusetra, kembar pelangi menguwung
penjara bidadari dan malaikat suci
maka tak pernah sampai aku menyeru Mu
oleh guntur Dursasana itu.

lalu daun dan dunia disucikan pada tiap helai
rambutnya, yang lebih dari mahkota terurai
seluas padang di poros ngarai
dan hujan pun berhenti lah, para khafilah
mematung hati, membatu tuli
tak ada kuasa di sana, cuma gumam Sena

: o, jagad. Hendak dibawa kemana dendam tua
pesan-pesan menggantung di arca batu safir
dan kebimbangan tak henti menghilir
tinggallah pada Mu anak pemberani itu
dan bertapa di dalam Lima

© setro, januari 2010

tetralogi pertama: wisrawa-sukesi


telah didirikan benang basah itu
mengubun langit di atas Wisrawa
dan anak Sumali, bagai awan kapas
ditiupkan angin satu paras
ranum cinta yang mengalir
cahya di Alang Kumitir

˝yayi Sukesi,
Kau lihatkah sang imam itu
menyibak serambi masjid dalam pantai˝

˝begitulah, Begawan..
tetapi apakah semua ini
paras cahya dari sepi..˝

maka langit-bumi berpagut
pada ujung tangga bianglala
menggetar batu-batu di gerbang Kahyangan
mengguruh Guru-Uma di jasad keduanya

kedengkian dewa-dewa
mengukir kerat sepi jadi api
luruhkan wangi tunjung di taman
di pinggang hutan
dan diantara lekat dua badan

˝yayi Sukesi,
kau lihatkah sang Puja itu?˝

˝begitu, Kanda
dalam songsong cinde Wibisana˝

maka usai dikoyakkan bumi-langit
dalam sorai yang menghantu
dan di rahim Sukesi
kemalangan sunyi pertapa
melesakkan api duka
dari darah, telinga dan kuku Sarpa

©Setro, 12 Januari 2010