01..

“01..

02..

02..

03..

04..

04..

05..

Saturday, July 13, 2019

keranda itu berjalan ke rumah ku


dan keranda itu pun akhirnya berjalan ke rumahku yang
rapuh tapi tegar sebab dibangun di atas ombak jauh dari pasir
namun tetap dekat ke pesisir
lama kutolak duka yang mengiring di belakangnya, cahya
lenguh antara gumuk kelanangan dan ngarai yang kini cemas
tertimbun di sana lalu cinta kita hampir jadi ladang Kurusetra
dendam dialirkan melengkungi pelangi

: duka pun sekarat
saat kita teraniaya

dan keranda itu pun akhirnya berjalan ke rumah ku pelan tapi
pasti menyisakan daunan kering dan impian yang berserakan
di meja sebelum pecah pagi
lama ku dengar suara anak-anak bersorai berebut fajar dalam
rahimMu yang belum jua lepas dari cumbu  tetapi
kehangatannya telah dirampas kupu-kupu yang menandai
tamu paling sopan pagi ini mengetuk pintu berulangkali

: siapa, tanyaku pelan mengambang
tapi keburu semua melayang

© Setro 18082009

pada titik nadir


pada titik nadir bulan redup tengah malam
terkulai janji daun
basah tanah mengembun

duka memanggil-manggil batu
di hati mu!

© gombong, 7 november 2009

hadrah kadisah


seperti ruby dan pantulan cahya matahari di atas mimbar itu
inginNya aku mengabarkan getar tsunami dalam gelap dan
sunyi
bahwa ibuku telah ada dikuburkan sejak sejarah parafasik
dan kebenaran yang kalian abaikan itu

: maka inilah takdirKu

genderang perang hadrah adalah suara dauh, getah pohonan
dan warna cakrawala saat sunset tiba
mengantar peraduan yang tak boleh kelambu melenakan
kami semua
malam dan siang bagai ruby dan pantulan cahya matahari
tak bakal padam mengepung !

© ambal, 18 november 2009

sajak Ling-Lung


: jangan sedih, angin menerbangkan burung kecil itu
di ujung dahan bambu
dan kita jadi pengantin di bawahnya !

dalam sakit yang kedua tak habis kutafsir arak mendung
yang tiap hari berubah coraknya dan tiap saat tak sama
bentuknya
tiap sampai waktunya selalu tanya
yang engKau yang Mana?
ling lung ling lung ling lung
dalam sakit yang kedua belum kering air di mata berulang
kubaca
pola pada rentang pasir di gumuk-gumuk pesisir
yang pagi jadi lekukan tapi sore jadi tangisan
yang ayatMu yang manaMu?
ling lung ling lung ling lung
dalam linglung angin menerbangkan burung
menggetarkan kafir-kafir dalam mati
menebarkan putik-putik dalam hati

: jangan sedih, angin menerbangkan semua bayangan
di ujung semua dahan
dan kita semua jadi pengantin di bawahNya !

© telasih, 2009

Friday, July 12, 2019

stambul bambung-silah


telah hilang nyala kunang
dari gerimis
dari embun tiap huma
dan orang-orang yang terjaga
impian telah lapuk
patung pasir di puncak gumuk

bambung, mengekor klangsir
ratu adil tanpa rumah
berpuluh tahun
beratus tahun
para petinggi yang durhaka
kurang tinggi naik menara
antara batu dan dewa-dewa

silah, sayap kupu-kupu runtuh sebelah
pada bumi tanpa tanah
kearifan telah padat membatu
dan berubah jadi mesiu
lalu tentara membakarnya
di mana-mana

telah hilang nyala kunang
dari malam yang terkekang
mengusut anak-anak gembala
yang tersesat di berasengaja
tubuhnya bergidik
kemerdekaan telah tercabik

© setro, 15 desember 2010

stambul rumah kubah


dan rumah-rumah kubus pun didirikan
mengganti serambi dan pelataran
zaman yang makin riuh
menegakkan masasilam yang kumuh

: kenapa kau pagari tempat suci ini
saat pintu dan batas dunia telah terbuka ?

dan rumah-rumah pun diasingkan
menjauhi kubah dan kaidah
zaman yang meriah
mengubur semua kenangan indah

© watucongol, 2 desember 2010

stambul gumuk Kwadonan


di gumuk Kwadonan
cahya rembulan terbunuh
jejak lembu sisakan keluh
angin menghilir hingga pesisir
begitu juga
rambut perempuan di sana
memahat batu
menjelma batu

di gumuk Kwadonan
senja berkawin dengan mayat
melayani malam-malam kesumat
tak ada lagi impian
tak ada keberanian
birahi dalam keranda
mendesak mu ke penjara

di gumuk Kwadonan
alam tua meretas tembang tua
..swarga aku nunut
neraka aku katut..

: duh,
dan aku mencumbu mayatMu !

© setro, 24 agustus 2010

stambul gumuk Klanangan


di gumuk Klanangan,
sebab angin memindai garam,
masalalu memedihkan udara,
dan luka kembar di tubuh kita.
sedang bisik layup para tetua,
bagai rumputan kering,
diaduk angin yang berpusing.

: kita telah lama abai,
dan lebih banyak mengandai.

di gumuk Klanangan,
sejarah peradaban tak berbunyi,
kearifan yang dibangun angin,
beratus tahun dicekam dingin.
dan saat cuaca bersalin rupa,
serbuan serdadu dari arahmu,
menikam belati dan mesiu.

: kita telah lama abai,
dan lebih banyak mengandai.

di gumuk Klanangan,
bukan hanya pohon dan kentongan,
pasir batu dan keluh lembu,
huma kebun dan stambul gurun.
semua telah lama dibunyikan,
berahut mengatapi khutbah,
di hati mana telah musnah.

© kaibon, 29 desember 2010

Thursday, July 11, 2019

stambul rumah tumbuh


telah tumbuh rumah
di antara sela tetirah
rinduMu menutupkan
sepiKu menguncikan

ingin aku
segera pula menyatu

telah tumbuh rumah
dinding lahat yang tergoyah
pekak suara toa
dari masjidmasjid yang menua

inginlah kami
segera bangun kembali

telah tumbuh rumah
dari jejak yang tengadah
tapi mereka merubuhkannya
sekejap membabibuta

dan rumah yang tumbuh kini
penuh dengan cacimaki

© kebumen, agustus 2010

stambul sang Pemanah


seorang Pemanah. Tak cuma percaya dari apa yang dilihat
oleh matanya yang kasat. Tak ia –sertamerta- melepas anaknya
begitu saja
sebelum yakin. Keyakinan berada di pusat kalbu, di antara aura
dan
batu-batu. Bebatuan yang ditempa laku jagad, bersama waktu
: bersama diri Mu !

seorang Pemanah. KarenaNya mengerti, kapan hati ditetapkan
memagar masa pada kisi. Memutar cakra di matahari, saat ada
yang harus mati

dan air pun mengalir dari matamu dari dukamu dari kematian
anakanak yang dilepas di jalanan. Dan dari katakata
: yang lelah memuat do’a !

© kebumen, 10 mei 2010

tetralogi ketiga: Zuhdi-Rara Yatmi


dengan menisik lenguh dalam angin, Zuhdi bersila
di barat gapura
ruyak rindu lama sewindu, impian tiga ribu petani semangka
dibirukan, langit kusamNya
usai matahari tergelincir
digoyang barisan seratus kafir

lalu sang Garba dengan padma tua, di bawah pusarnya
menyalakan api cinta para piatu, satu-satu

“lekatkan rinduMu ke sini, Zuhdi..”, seru Yatmi rikuh
berkali-kali, gandewa yang meregang payung dukuh
do’a suci debur ombak Klangsir dari jauh

“begini dalamkah dukaMu, Rara..”, Zuhdi menyela
kembang-kembang tunjung mekar
kunang-kunang cahya menebar

tetapi langit lalu pudar
angin mengusung uap Sarem, tembus ke ulu
mengaratkan cinta dalam lembah di hatiNya
o, tisik lenguh kuncup bunga semangka itu
menggetarkan sayap kupu-kupu
dan sayup jeritan petani Zuhdi makin terbaca
ditinggalkan sang Padma yang beranjak tua.

© setro pagi, 19 januari 2010

Wednesday, July 10, 2019

tetralogi kedua: Drupadi-Lima


(telah dilayani ke lima, dalam rahasia candi Sapta Arga
dimana jejak melingkar itu, ragu menua pada waktu)

dan hujan pun menderas dipermainkan
sebelum isi gelas mengering
sebelum daun rimba Astinapura menguning
sedang di luar serambi Dadu
tak ada yang tahu betapa Ku !

: betapa dunia telah dibelah sungkawa
anak-anak Pendawa melambungkan wangi Bakung
di Kurusetra, kembar pelangi menguwung
penjara bidadari dan malaikat suci
maka tak pernah sampai aku menyeru Mu
oleh guntur Dursasana itu.

lalu daun dan dunia disucikan pada tiap helai
rambutnya, yang lebih dari mahkota terurai
seluas padang di poros ngarai
dan hujan pun berhenti lah, para khafilah
mematung hati, membatu tuli
tak ada kuasa di sana, cuma gumam Sena

: o, jagad. Hendak dibawa kemana dendam tua
pesan-pesan menggantung di arca batu safir
dan kebimbangan tak henti menghilir
tinggallah pada Mu anak pemberani itu
dan bertapa di dalam Lima

© setro, januari 2010

tetralogi pertama: wisrawa-sukesi


telah didirikan benang basah itu
mengubun langit di atas Wisrawa
dan anak Sumali, bagai awan kapas
ditiupkan angin satu paras
ranum cinta yang mengalir
cahya di Alang Kumitir

˝yayi Sukesi,
Kau lihatkah sang imam itu
menyibak serambi masjid dalam pantai˝

˝begitulah, Begawan..
tetapi apakah semua ini
paras cahya dari sepi..˝

maka langit-bumi berpagut
pada ujung tangga bianglala
menggetar batu-batu di gerbang Kahyangan
mengguruh Guru-Uma di jasad keduanya

kedengkian dewa-dewa
mengukir kerat sepi jadi api
luruhkan wangi tunjung di taman
di pinggang hutan
dan diantara lekat dua badan

˝yayi Sukesi,
kau lihatkah sang Puja itu?˝

˝begitu, Kanda
dalam songsong cinde Wibisana˝

maka usai dikoyakkan bumi-langit
dalam sorai yang menghantu
dan di rahim Sukesi
kemalangan sunyi pertapa
melesakkan api duka
dari darah, telinga dan kuku Sarpa

©Setro, 12 Januari 2010

Monday, September 7, 2015

serenada perahu gabus

Kau bìlang perahu ini retak lambung. Tiangnya patah
nyaris tenggelam ke tengah, ketika
Bintang jauh kembali mengapungkannya.

Aku bilang perahu gabus telah karam. Tinggal buih
Dimana arus modal dimonopoli
Tapi beban hutang disosialisasi

© rowopening, 13 desember 2000

Thursday, July 16, 2009

surat buat caroline

Tak sepantasnya aku buang catatanmu, Carol. Setelah bulan menggumpal dan para enterniran Boven menghìtamkan tubuhnya
di tepi-tepi air, antara Brisbane dan pelabuhan-pelabuhan jauhnya. Tidak, Carol. Setelah begitu meluas seruan martir, ditulis pada topi para matros dan di topi para kerani; yang teranyam dengan ayunan tropis di Kapal-Kapal Hitam. Setelah gempuran yel-yel menusuk langìt Benua Kecil, lalu ribuan pulau di sekitarnya. Setelah jutaan tangan mengapalkan kirinya ke langit, serentak dan bersama

Gerimis mesiu menggetarkan September, begitu kelabu ladang-ladang Kentang berubah ungu di belakang Melbourne, Sydney, hingga Mackay. Dan keruan saja; Van Mook berudang basah mukanya, dengan topi gusar corak Eropa, gelisah di bawah lutut Tuk Kliwon; ia berjalan rendah dan nafasnya terengah.

Tidak, Carol. Bahkan pun bila terlihat kembali bagaimana Madame pada sibuk dan dengan gesit menyulap garase-garase jadi Cafe
lengkap dengan cabe Chili dan sumpek bau terasi. Karena di luarnya hanya ada cumi-cumi -bernama Globalisasi- yang begitu raksasa, hingga untuk memutus satu tali guritanya
perlu martir dua benua.

jika pun dunia harus berubah, tenggelam bersama kapal jelaga dan Boven hanya bergeser titiknya saja, tak harus benang putus begitu rupa. Toh masih ada barkas, larvet dan kapal selam, sederet freegaat di Fremantle menunggu; begitu pula rembulan dan rinduku.

© Puri Depok, 24 Sept. 2000

nyanyian karah

Jika ini karah nabi, kenapa waris tak pernah kembali
Kebun rubah jadi persil koloni dan di utara dekatnya
Rumah mandor dan markas tentara.
: tiap sebulan ada letup senapan
dengan gema mirip hantu
putar kampung saban minggu
Anak rembulan di pojok latar lututnya pada gemetar

Jika ini karah nabi, kenapa serambi putih
Jadi bisu di bawah kubah
Sejuta ratap kelu dalam khutbah
Kebutuhan malah sulit diomongkan;
kemakmuran cuma jadi pilin merjan

: tiap selapan digelar pengajian
Iuran dikumpulkan saban waktu
Persoalan dibiarkan dalam sedu
Banyak orang terbenam di bisik-bisik,
kersik daun yang tanggal
Gugur oleh kicau burung nakal

Jika ini karah nabi, maka ada yang perlu dibenahi
Pusing badai dalam baki, ditiup bagai asap kopi
Lingkar kubah telah ruah, meski jalanan sempit
Tangan kiri mengepal langit.

O, pengantinku. Yang berbaris di jalanan dan nyanyikan
perubahan. Padahal di tepiannya lumut-lumut merah
telah merapuhkan belenggu sejarah.

- rowopening, april 2001

introduksi

sambil melinting tembakau, abu
kuperkenalkan dirimu
kita rajut pilar angan baru
talu keletihan di tanah sengketa
sejengkal bagian cita-cita sederhana

esok, abu, pasar depan bakalan ramai
belantik sapi ngomong liberalisasi
bakul pundi sibuk restrukturisasi
esok, abu, parlemen kita bakalan lebih meriah
wakil-wakil menukar banyolannya
dengan dolar tanpa perantara

sambil melinting tembakau, abu
pilin saja semua keinginanmu
sesakit apa di ranah merdeka
setangguk nasi cari sendiri

kemarin, abu, orang-orang bikin mìmbar
tinggi-tinggi bendera berkibar
dan demonstrasi tiap hari
jalan-jalan dilumpuhkan tiap kali
kemarin, abu, para buruh demam mobilisasi
tapi tetap saja upahnya mirip kina
anak cucunya doyan narkoba

sambil melinting tembakau
kita gulung tikar pandan
semua jalan hilang di tikungan
aku ke kiri, abu,
melipat peradaban

© parakan, juni 1988

pelaminan timur

I
masihkah jauh timur matahari itu, ostepu
aku bertanya sebagai warga desa kelas dua
yang penduduknxa telah kehilangan tanah-airnya
masih jauhkah timur matahari itu, ostepu
aku bermìmpi sebagai kuli batu kali
yang pada saatnya bisa bangun rumah sendiri.
masihkah jauh timur matahari itu, ostepu
aku ingin melihat rekah cakrawala lebih dari damba
dan rayakan kemenangan sekali saja

II
telah ranum pengantin, sejak kemarin
cerah purnama wajah keduanya
yang molek dan penuh oleh kerja
o, perawan suri dan jejaka tugur
rembulan punya muara di pinggulnya
matahari bersawah di bahu kedua
telah ranum hari tiap kali dilewati

III
di timur matahari, tempat hilang garis cakrawala
dunia yang tak terbedakan oleh milik siapa
tahta jamrut dan mutiara kasut

© 2001

karah kiri-kiri

jika aku kawin padamu, ostepu, itu karena
benci muasal kemiskinan, dan, karena
dengan api di mata, kau telah melihatNya

leluhurku, slave-workers itu
dari gilda-gilda di pinggiran kota, hingga Kiev
makan selebaran tiap pulang
sebab upahnya hanya cukup menutup utang

masa silamku, pemberontakan para budak
pemogokan St.Petersburg, pekerja dengan tutup kepala
bikin lumpuh seratus kota

dan minggu kusam penuh darah
muka istana musim dingin
kembang mulut cuci mulut
telah menua bibir, berulang kusut

kenapa mesti Gabon, si pendeta roman
yang merasa telah penuh do'a
dan petisi-petisi, ditembus timah besi
ribuan bola merah mainan tentara

jika aku kawin padamu, ostepu, itu karena
aku muntah di ladang assasinasi dan karena
aku terlambat menstruasi bulan dua

sebab benihmu telah suburkan gandum
di Uyedz semesta, dan terusterang saja
sebab api telah menyala di tiap sudutnya
isyarat penggulingan bagi tiran

kini masa ranumku, tanah api tani hamba
sebab takkan pernah fajar diteluhkan
dari tangan yang berlumur
: dan tradisi yang telah uzur!

© bandungan, 1999

karah kenangan

kukenangkan negeri kecil yang lama terpicìng
lipatan peta duoia ketiga: o, surganya
betapa semua telah tersedia
tanah gembur, perawan subur
lumpen berotot kekar, buruh-buruh kasar,
dan pasar tanpa pagar
sedang dì tengahnya, surga
siap dìlego kapan saja!

: o, fajar baru betapa megah
langit penuh bendera dan atmosfir tertutup jubah
negeri ini cuma lubang dakon sial
sedang kantung mereka penuh bola kristal!

: o, tersingkap rok mini judi liberalisasi
keranì-kerani negara cuma bengong-bengong saja
tersihir sulap imperium asing
dan bergumul dengan paha para gundiknya

ku Kenangkan
negeri kecil yang celaka
kukenangkan negeri terperosok ke jurang-jurang
kukenangkan para pelayan rumah kasim
telah lama terbang kehormatannya
kian jauh orang-orang meraba gelapNya

© pekalongan, juni 2000

senandung

: bagi WS

Telah makin temaram kapas, sebab hari
penuh cinta,
lagu buruh di jalanan
dan pelangi di pelupuk mata

dekatlah sini, selagi bìsa kupeluki
o, kecemasan gadis-gadis pelawan
kehangatan dadamu penuh
oleh bunga dan metamorfosa

Telah makin keruh, aku mengalir
tak henti suburkan sawah-sawah
tanpa pematang, dan cinta depan penghulu
melipat caping ke balik kutangmu

Ke sinilah, dekat ke ulu jaman
bilik jantung kembang sepatu
luruhnya para martir, juga wangi cinta
di petang yang pertama

(seperti yang lain, selalu ada waktu melepasmu pergi
demikian juga: impi)

© gunungpegat, 21 april 2001

megatroh

: bagi Tuti Aditama

harum tipis lenguh kerbau, lepas siang kaki telanjang, lempar baju, lempar buku; adalah pesona dunìa itu. Makin kuat angin jentera memayung dukuh Dan orang-orang memboyong siangnya penuh-penuh. Sawah-ladang, punggung kerbau, jengkerik yang terkìli dan sihir tikungan kali.

“Hari ini Pekalangan ada Chi, di sekitar beji”
“Seperti kemarin...”
“Jagonya masih Warmin. Piala tebu dan kedondong batu”

Maka hiruk-pikuk peluit jerami matras debu tegal-sawah, selepas panen sadhon adalah surga lainnya. Begitu sederhana untuk diuji jadi satriya!

Lelaki kecil Gandusari pulang kesorean dengan tubuh bau lumpur
dan sisa lenguh kerbau tetangga makmur. Jika ada yang perlu bicara maka semua gagang sapu menuding muka.

“O, anak-cucu siapa. Harus selalu ingat, jangan mandi di kali Barat. Punggung kerbau membuat kalian dungu. Dan gagang sapu ini akan segarkan seluruh ingatanmu”

Bocah kecil meronta di rembang senja, dan rembulan telah sudi menyelamatkannya. Ia pamit pergi mengaji, tapi serukan jonjang-blodor di jalan tepi.
maka tiap malam tiba
: purnama telah membakar desa-desa.

© menganti, desember 2000

situs kota

I

Hantu tanah serupa malam ia kini
Yang siangnya dilebur peluh petani
Dan gelap telah mengandungkan jerit hati

Sesungguhnya, diam-diam
Kota telah dikepung perkara
Priyayi, polisi, bupati dan tentara
Berbaris merapatkan kisi-kìsi rumahnya

: siapa telah mengajarkan bahasa hantu itu
Di tengah orang-orang santun dan lugu?

Keonaran muncul di rumah Baluwerti
Belenggu pagar tergoyang
Sinar dan angin telah menegurnya

Hantu malam serupa tanah
Mengepung cikal bayangan.

II

Bukan sekedar debu -kataku- jika orang dari atap Jakarta itu
Tiba dan bicara soal kemakmuran, pengangguran dan
Desa-desa yang direndahkan.
Yang terbelakang, kumuh, norak peradabannya,
Khutbah tiap Jum'at dilangsir reperti kereta
Yang memuat kepentingan siapa?
-kalian, tiap hari, tiap kali, omong besar kepentingan desa ini
tetapi di baliknya menebalkan perbudakan tua saja-

: bagaimana mungkin bìcara keadilan dan kemakmuran
Ketika petani berubah jadi kuli di tanahnya sendiri
sebab merdeka buat mereka malah terbebas
dari lahan garapannya; ketika buruh-buruh dihirap keringatnya,
sepanjang masa dan upahnya makin pahit saja!

sementara langit makin meninggi dan
pelangi tak bakalan muncul-muncul lagi

© nogoraji, 2000

serenada malam

I
hari sudah malam, Ufi. Benahi mainanMu
dalam kotak kayu. Berikut bola-bola
yang di dalamnya terjaga sedih kita semua
jika besok masih ada matahari
kìta tendang bola lagi
langsung ke ulu pagi

II
hari sudah malam, Puru. Telahkah kau baca buku
lihat dunia dari jendela
Ajak adikmu kembali
menembang daun kisi-kisi
dan pinggang desa yang sendu
makam leluhur para pandu

III
: di negeri para kumbang
telah lewat batas ambang
kedekatan dan kejauhanKu nyatu
nyata dan tak lagi beda;
kelahiranMu!

© kebumen, 2001

pulang

Makin jauh malam ke tengah
Berkelit dari teror kekalahan
Dan ke kìri tiap kali ada persimpangan

: o, sepasang lagi aku temukan
Anak-anak manis naik tangga ke atap cakrawala
Yang bermimpi merdeka seperti dambaan bapaknya

Makin jauh malam berlabuh
Makin jauh
Makin jauh

© Kebumen, April 2001

solitude

SOLITUDE PERTAMA
dalam sunyi kersik debu
dalam kunci dan katup-katup
dalam stupa yang tiada
kegusaran jadi lembab
udara yang terkili

SOLITUDE KEDUA
jika sunyi tubuh kerucut
onggokan piramid di laut gurun
mummi-mummi asing
dan kesumat para pertapa
berkejaran tanpa nama

SOLITUDE KETIGA
dalam sunyi ayat-ayat luruh
air di kurva kuning keruh
jelaga di tengah serambi
tanggal ke kubah tepi

© CandiAsu, Maret 2001

kekarah topeng

-sungguh pun ada Sahud, Simin, Parjo dan Marja-

kenapa -katamu- makin banyak
badut-badut panjul
kini garang ngalor-ngidul
berjalan digagahkan
pakai tenteng popor
tapi sengaja lupa bawa pelor

: kerna begitulah, memang
lakon para pelopor itu
jika berubah kendur tali kita
mereka mau curi sejarah buat kedua

© Caruy, 13 Maret 2001

sepotong roti

Sepotong roti di meja menteri
Adalah peluh para pekerja
Adalah keluh bagi lainnya

Sepotong roti di meja menteri
Memadat air mata membiru
di jaman makin tua membatu
Dan muka lebam mereka yang bekerja
Terbasuh hutang sekolam
Busung udara tiap perutnya

Sepotong roti di meja menteri
Terpejam padri-padri tengah memilin merjan
Keraguan ibu jarinya makin kentara

Sepotong roti di meja menteri
Menjelaskan kemiskinan telah diseduhkan
Sementara, makin tua suluh
Kegelapan bakal dibunuh
Dan di keruh kejunya yang bergamar kera
Makin memanjang cakar gurita.

Sepotong roti di meja menterì
Dimakan sehabis ditutup tiga do'anya
: tuhan, abadi dan terimakasih

© Bawen, 24 Februari 2001

tart

batu makin memberat, di bawah capingku
di ujung pelangi dan gundu globalisasi
ranum api tepi rimba, Yunda !
ke arah mana jaman bertiup hingga

© Jan 1, 2001

secang 190201

dupa belerang mengatapkan do'a siang, saudaraku
galau hati seribu santri
katup jaman ke atap Jakarta

: mereka telah tìup peluit pongah
mereka ajarkan bagaimana
cara bunuh rakyat lemah
hanya dengan mata sebelah!

tersungkur empat martir
darah sekubang pertigaan
timah sebesar dendam
usai dihambur-hamburkan

orang-orang pungut nyalinya
bersama gentar dan gerimis
dari sedu kawah Merapi
memanaskan kerak bumi

© Magelang, 19 Februari 2001

tart

batu makin memberat, di bawah capingku
di ujung pelangi dan gundu globalisasi
ranum api tepi rimba, Yunda !
ke arah mana jaman bertiup hingga

© Jan 1, 2001

seorang di atas mimbar

Dari atas mimbar tinggi, seorang Padri
Didampingi keraninya yang seksi
Beri ceramah berapi

“jika kelak ada pabrik besar di desa kita
sedulur-sedulur bakalan makmur
sebab akan musnah penganggur!”

Semua orang menyimaknya, terpesona.

“begini, aku berani bertaruh kursi
jika kalian mau teken jual beli”

Maka delapan tahun sesudahnya..

Orang yang sama, di tempat yang sama
Terguling dari kursinya

Dan hampir semua penduduk desa tiap hari
Masuk barisan kuli-kuli yang celaka
Sebab harus bekerja di atas tanah bekas miliknya

© Nagaraji, 2000

serenada langit merah

langit merah di atas Timika. Selestinus, perjaka tugur dengan bahu
rata; bangun dari makam suku dan pergi dari sunyi hutan sagu.
Bundanya hamparan tanah; beri ia perawan molek, hitam tanpa beha.
Engkaukah, Selestinus itu? Puing beteng di timur matahari
dengan tombak dekat ke bahu dan kapak pahat dari batu

Ya, o ya, aku Tinus dari makam suku, karah bulan dan renjana biru
Dengan mata kejora hilirkan kali, terdampar di bumi Jawa ini.

langit merah di atas Timika. Memayung perawan molek bumi Papua
bertahun-tahun Ia diperkosa. Mulut susunya dihisap, mulut matanya
dihisap; dihisap pula mulut-mulut lainnya.
Selestinus, mulutnya sakit, memerah saga warna matanya, memerah pula
kulit tifanya. Maka dicambukinya dengan dendam patah-patah

Ya, o ya, aku Tinus Separatus. Bapakku mati sebab dikebiri
Dikuliti hitamnya di zona tambang Tembagapura.

langit merah di atas Timika. Selestinus hilang masuk barisan
dengar genderang makin bertalu. Ia datang mengepung kota pelan-pelan
mulutnya bertahun membisu dan Jakarta yang buram terpeta
di benakmu. Selestinus Separatus hitam kulitnya menembus malam
dengan tombak dekat bahu dan menghitam kapak pahat dari batu.

- Semarang, 2000.

serenada pertama

Jika aku pergi, setelah purnama ke tujuh hanya ada
Senyap kita bagi semua. Betapa pun aku, dalam belenggu
darah dan meninggalkan benih kecambah. Betapa pun,
Telah kupahami bahasa akar semua perdu di ngarai desa
hingga bukit di utara. Setiap jengkal ranah, kemana jejak
tentujan arah; cinta tetap mengandungkan darah

Jika pun aku pergi, seorang diri, bergayutan kesedihan tua dan
Luar biasa. Masih ada puisi-puisi, rumah bagi hati;
Oase tengah hari

Jika pun aku pergi, makin jauh saja dari jendela yang telah
Tertutup daunnya; sebab kemiskinan bukan saja ada di sisi
rumah. Carut-marut jalanan telah makin jauh menyeret
langkah, ke tempat-tempat pelesiranmu dimana murung
terhanyutkan, tempat gelembung udara dipecahkan.
Dan seperti juga acap aku katakan ada ratusan desa-desa
sesungguhnya, lama menunggu kita. Tempat di mana ada
pasung buat tiap jentera yang mengurung anak-anak kita
dan di situ aku jadi aras: Gasing tanpa lenguh

Jika pun aku pergi, dan tak ingat bajuku lagi; tentu, karena
baju yang sama telah kau tanggalkan seluruhnya; tanpa sisa
Dan bagaimana aku berpikir untuk menggantinya. Jika begitu
banyak derita bagi lainnya...

Dan jika pun aku pergi, maka di sana tempatku kembali !

- Salatiga, 14 Desember 2000

serenada kedua

“Pernahkah kau dengar lenguh kerbau, wanitaku?”
desau angin lingkaran renjana. Dan bertahun-tahun
aku tegak di pusatnya: kemiskinan
di relung tanah Tuhan.
“Pernahkah kau dengar lenguhNya, wanitaku?”
ketika musim bajak tiba, ketika benih lalu ditabur
dan memanen di ranah subur

© desember 2000

serenada kesepuluh

Candi ke sepuluh setelah gedong terakhir dan tuan kuda
menarik beya, tentu akan membuat kerutan baru, entah
dimana bisa ditemukan rumahMu. Padahal, begitu dekatnya
sesungguhnya, rumah Kita; sebab setiap hari terus saja dilewati atau jangan-jangan cuma jelaga dalam hati.

“Pasti, itu cuma teka-teki”, sergahmu. “Tugur rumah tanpa kubah”
“Bukan”, aku potong. “Ia akan menjelaskan dari mana aku
datang dan sekaligus mengurungkan arah mana sekiranya aku pergi meninggalkanMu”
Ia dekat, begitu dekat; dan lebih tua dari hutan tua. Rimba pinus
dì tanah tinggi, tempat mana mengucur peluh petani desa ini,
bagian dari jiwa yaog pernah merdeka

Tentu, orang pelesiran itu, tak pernah mengira, sebab rintihan
paling menyedihkan memang pantas dilupakan. Tak peduli,
mimpi dari abad kemarin telah terbelenggu, oleh dua pilihan
: benteng tiran atau semua diserahkan!

Kini, makin terbuka pintuNya. Dan selalu tanpa jendela. Juga ketika
Kuda-kuda bergoyang; meninggalkan-Mu!

© gedongsongo, 2000

purnama pagihari

bagi: ena dwi p.

rembulan telah melemas di tengkukmu
terkalahkan subuh pada genggam perempuan
dari gunung, yang berbaris dan merunduk
meniti fajar dalam jebak kabut

: begitu banyak tanda di kakiNya
menjelaskan sejarah hari yang sesungguhnya
ena, bisakah kau putuskan
kepergian ke kota -lain kali- untuk menyusulnya
atau keburu kau kedinginan
dan meminta yang lain
sebelum mati
?

© banjarnegara, 2000

ranum

sungguh pun telah berat, udara melindih
perdu, hingga mendulum takjimnya
makin nyata dahan-dahan
mengembunkan penolakan

belasan padri, dengan jubah dari sutera
dan jalan-jalan ke arah kota
iman di tangannya memotong ngarai
duaja di atas bahu, kebat lidah-lidahmu

“tetap di situ, saudaraku
sebagaimana telah ditetapkan tuhan
yang berkenan menìadakan permusuhan”
kini, telah seperti hujan, tiap hari selama ini
dan dalam hujan, makin mekar payung-payung
jarum dan parasit menggumpal
lapuk pada tonggak, hamil oleh dahan

rimba telah jadi suaka
lebat dan kumal, getah kayu, kapak batu
di tangan serdadu besi
terjaga sekalian takdirNya

sungguh pun telah makin berat, udara melindih
perdu, kini dan hingga fajar pagi
: semua mengandungkan impi

© 2000

meeting de merlin

meeting di Merlin
di serambi yang menggantung
dì sarang laba-laba gunung.
meeting di Merlin
segerombolan demagoger
bertutur soal toga dan negara.
meeting dì Merlin
dari atas busa retorika
bergeser ke tengah podium sutera

: saudara-saudara, aa aa aaa
aku harap kalian semua tenang saja
krisis itu kaya buah semangka, aa aa aaa
yang tengah kami pecahkan
nasib rakyat nyata diutamakan.

meeting di Merlin
di luar; salah kemarau
teriak ribuan pendemo
: telah banyak yang kalìan omongkan
maka sebelum kamì jadi gelandangan
serahkan gaji-gaji kalian
yang dihimpun dari pajak
dan utang-utang yang ditimbun

meeting di Merlin
hingga sore barulah usai
dan jauh di sudut kampung
seorang dari desa pulang antre
menuding-nuding ke layar teve
: nah, ini dia jago kita
sejak kemarìn ia telah bicara
hal yang itu-itu juga !

© agustus 2000

serenada mengalir

serenada mengalir dari petani Nagaraji
yang sekarat dan mataNya melotot saja
beralun gambang dadaNya
mulut kelu, menahan badai ke dua bahu
: o, langit penuh debu lempung karsit
dijaga gurita dan banyak tentara!
telah lepas semua kenangan
bukit kapur, lahan-lahan subur
lagu malaikat yang berang, menghabisinya

serenada mengalir dari lagu buruh Turasih
yang tengah mengakrabi warisan kemìskinan
dan tergoda mulut tombak para tetangga
di sebalik sìsa perdu dan bising eksplorasi
rubuh tubuhNya ditindih para priyayi
: o, kali menghitam di tiap tegongan
jaring lelakiNya jauh sepi di tinggal ikan
air mata warna nila merkuris
orang desa kena asma dan sifilis
tiap malam penuh laknat
kelabu pula udara pada siangNya

serenada mengalir dari malam yang mengalir
bertahun-tahun dan tertimbun
menghanyutkan mimpi kemakmuran
terapung-apung di laut warna kelam

(orang-orang baru saja terjaga
mendapati telah lepas semua milikNya)

© gombong, november 2000