01..

“01..

02..

02..

03..

04..

04..

05..

Thursday, July 16, 2009

surat buat caroline

Tak sepantasnya aku buang catatanmu, Carol. Setelah bulan menggumpal dan para enterniran Boven menghìtamkan tubuhnya
di tepi-tepi air, antara Brisbane dan pelabuhan-pelabuhan jauhnya. Tidak, Carol. Setelah begitu meluas seruan martir, ditulis pada topi para matros dan di topi para kerani; yang teranyam dengan ayunan tropis di Kapal-Kapal Hitam. Setelah gempuran yel-yel menusuk langìt Benua Kecil, lalu ribuan pulau di sekitarnya. Setelah jutaan tangan mengapalkan kirinya ke langit, serentak dan bersama

Gerimis mesiu menggetarkan September, begitu kelabu ladang-ladang Kentang berubah ungu di belakang Melbourne, Sydney, hingga Mackay. Dan keruan saja; Van Mook berudang basah mukanya, dengan topi gusar corak Eropa, gelisah di bawah lutut Tuk Kliwon; ia berjalan rendah dan nafasnya terengah.

Tidak, Carol. Bahkan pun bila terlihat kembali bagaimana Madame pada sibuk dan dengan gesit menyulap garase-garase jadi Cafe
lengkap dengan cabe Chili dan sumpek bau terasi. Karena di luarnya hanya ada cumi-cumi -bernama Globalisasi- yang begitu raksasa, hingga untuk memutus satu tali guritanya
perlu martir dua benua.

jika pun dunia harus berubah, tenggelam bersama kapal jelaga dan Boven hanya bergeser titiknya saja, tak harus benang putus begitu rupa. Toh masih ada barkas, larvet dan kapal selam, sederet freegaat di Fremantle menunggu; begitu pula rembulan dan rinduku.

© Puri Depok, 24 Sept. 2000

nyanyian karah

Jika ini karah nabi, kenapa waris tak pernah kembali
Kebun rubah jadi persil koloni dan di utara dekatnya
Rumah mandor dan markas tentara.
: tiap sebulan ada letup senapan
dengan gema mirip hantu
putar kampung saban minggu
Anak rembulan di pojok latar lututnya pada gemetar

Jika ini karah nabi, kenapa serambi putih
Jadi bisu di bawah kubah
Sejuta ratap kelu dalam khutbah
Kebutuhan malah sulit diomongkan;
kemakmuran cuma jadi pilin merjan

: tiap selapan digelar pengajian
Iuran dikumpulkan saban waktu
Persoalan dibiarkan dalam sedu
Banyak orang terbenam di bisik-bisik,
kersik daun yang tanggal
Gugur oleh kicau burung nakal

Jika ini karah nabi, maka ada yang perlu dibenahi
Pusing badai dalam baki, ditiup bagai asap kopi
Lingkar kubah telah ruah, meski jalanan sempit
Tangan kiri mengepal langit.

O, pengantinku. Yang berbaris di jalanan dan nyanyikan
perubahan. Padahal di tepiannya lumut-lumut merah
telah merapuhkan belenggu sejarah.

- rowopening, april 2001

introduksi

sambil melinting tembakau, abu
kuperkenalkan dirimu
kita rajut pilar angan baru
talu keletihan di tanah sengketa
sejengkal bagian cita-cita sederhana

esok, abu, pasar depan bakalan ramai
belantik sapi ngomong liberalisasi
bakul pundi sibuk restrukturisasi
esok, abu, parlemen kita bakalan lebih meriah
wakil-wakil menukar banyolannya
dengan dolar tanpa perantara

sambil melinting tembakau, abu
pilin saja semua keinginanmu
sesakit apa di ranah merdeka
setangguk nasi cari sendiri

kemarin, abu, orang-orang bikin mìmbar
tinggi-tinggi bendera berkibar
dan demonstrasi tiap hari
jalan-jalan dilumpuhkan tiap kali
kemarin, abu, para buruh demam mobilisasi
tapi tetap saja upahnya mirip kina
anak cucunya doyan narkoba

sambil melinting tembakau
kita gulung tikar pandan
semua jalan hilang di tikungan
aku ke kiri, abu,
melipat peradaban

© parakan, juni 1988

pelaminan timur

I
masihkah jauh timur matahari itu, ostepu
aku bertanya sebagai warga desa kelas dua
yang penduduknxa telah kehilangan tanah-airnya
masih jauhkah timur matahari itu, ostepu
aku bermìmpi sebagai kuli batu kali
yang pada saatnya bisa bangun rumah sendiri.
masihkah jauh timur matahari itu, ostepu
aku ingin melihat rekah cakrawala lebih dari damba
dan rayakan kemenangan sekali saja

II
telah ranum pengantin, sejak kemarin
cerah purnama wajah keduanya
yang molek dan penuh oleh kerja
o, perawan suri dan jejaka tugur
rembulan punya muara di pinggulnya
matahari bersawah di bahu kedua
telah ranum hari tiap kali dilewati

III
di timur matahari, tempat hilang garis cakrawala
dunia yang tak terbedakan oleh milik siapa
tahta jamrut dan mutiara kasut

© 2001

karah kiri-kiri

jika aku kawin padamu, ostepu, itu karena
benci muasal kemiskinan, dan, karena
dengan api di mata, kau telah melihatNya

leluhurku, slave-workers itu
dari gilda-gilda di pinggiran kota, hingga Kiev
makan selebaran tiap pulang
sebab upahnya hanya cukup menutup utang

masa silamku, pemberontakan para budak
pemogokan St.Petersburg, pekerja dengan tutup kepala
bikin lumpuh seratus kota

dan minggu kusam penuh darah
muka istana musim dingin
kembang mulut cuci mulut
telah menua bibir, berulang kusut

kenapa mesti Gabon, si pendeta roman
yang merasa telah penuh do'a
dan petisi-petisi, ditembus timah besi
ribuan bola merah mainan tentara

jika aku kawin padamu, ostepu, itu karena
aku muntah di ladang assasinasi dan karena
aku terlambat menstruasi bulan dua

sebab benihmu telah suburkan gandum
di Uyedz semesta, dan terusterang saja
sebab api telah menyala di tiap sudutnya
isyarat penggulingan bagi tiran

kini masa ranumku, tanah api tani hamba
sebab takkan pernah fajar diteluhkan
dari tangan yang berlumur
: dan tradisi yang telah uzur!

© bandungan, 1999

karah kenangan

kukenangkan negeri kecil yang lama terpicìng
lipatan peta duoia ketiga: o, surganya
betapa semua telah tersedia
tanah gembur, perawan subur
lumpen berotot kekar, buruh-buruh kasar,
dan pasar tanpa pagar
sedang dì tengahnya, surga
siap dìlego kapan saja!

: o, fajar baru betapa megah
langit penuh bendera dan atmosfir tertutup jubah
negeri ini cuma lubang dakon sial
sedang kantung mereka penuh bola kristal!

: o, tersingkap rok mini judi liberalisasi
keranì-kerani negara cuma bengong-bengong saja
tersihir sulap imperium asing
dan bergumul dengan paha para gundiknya

ku Kenangkan
negeri kecil yang celaka
kukenangkan negeri terperosok ke jurang-jurang
kukenangkan para pelayan rumah kasim
telah lama terbang kehormatannya
kian jauh orang-orang meraba gelapNya

© pekalongan, juni 2000

senandung

: bagi WS

Telah makin temaram kapas, sebab hari
penuh cinta,
lagu buruh di jalanan
dan pelangi di pelupuk mata

dekatlah sini, selagi bìsa kupeluki
o, kecemasan gadis-gadis pelawan
kehangatan dadamu penuh
oleh bunga dan metamorfosa

Telah makin keruh, aku mengalir
tak henti suburkan sawah-sawah
tanpa pematang, dan cinta depan penghulu
melipat caping ke balik kutangmu

Ke sinilah, dekat ke ulu jaman
bilik jantung kembang sepatu
luruhnya para martir, juga wangi cinta
di petang yang pertama

(seperti yang lain, selalu ada waktu melepasmu pergi
demikian juga: impi)

© gunungpegat, 21 april 2001

megatroh

: bagi Tuti Aditama

harum tipis lenguh kerbau, lepas siang kaki telanjang, lempar baju, lempar buku; adalah pesona dunìa itu. Makin kuat angin jentera memayung dukuh Dan orang-orang memboyong siangnya penuh-penuh. Sawah-ladang, punggung kerbau, jengkerik yang terkìli dan sihir tikungan kali.

“Hari ini Pekalangan ada Chi, di sekitar beji”
“Seperti kemarin...”
“Jagonya masih Warmin. Piala tebu dan kedondong batu”

Maka hiruk-pikuk peluit jerami matras debu tegal-sawah, selepas panen sadhon adalah surga lainnya. Begitu sederhana untuk diuji jadi satriya!

Lelaki kecil Gandusari pulang kesorean dengan tubuh bau lumpur
dan sisa lenguh kerbau tetangga makmur. Jika ada yang perlu bicara maka semua gagang sapu menuding muka.

“O, anak-cucu siapa. Harus selalu ingat, jangan mandi di kali Barat. Punggung kerbau membuat kalian dungu. Dan gagang sapu ini akan segarkan seluruh ingatanmu”

Bocah kecil meronta di rembang senja, dan rembulan telah sudi menyelamatkannya. Ia pamit pergi mengaji, tapi serukan jonjang-blodor di jalan tepi.
maka tiap malam tiba
: purnama telah membakar desa-desa.

© menganti, desember 2000

situs kota

I

Hantu tanah serupa malam ia kini
Yang siangnya dilebur peluh petani
Dan gelap telah mengandungkan jerit hati

Sesungguhnya, diam-diam
Kota telah dikepung perkara
Priyayi, polisi, bupati dan tentara
Berbaris merapatkan kisi-kìsi rumahnya

: siapa telah mengajarkan bahasa hantu itu
Di tengah orang-orang santun dan lugu?

Keonaran muncul di rumah Baluwerti
Belenggu pagar tergoyang
Sinar dan angin telah menegurnya

Hantu malam serupa tanah
Mengepung cikal bayangan.

II

Bukan sekedar debu -kataku- jika orang dari atap Jakarta itu
Tiba dan bicara soal kemakmuran, pengangguran dan
Desa-desa yang direndahkan.
Yang terbelakang, kumuh, norak peradabannya,
Khutbah tiap Jum'at dilangsir reperti kereta
Yang memuat kepentingan siapa?
-kalian, tiap hari, tiap kali, omong besar kepentingan desa ini
tetapi di baliknya menebalkan perbudakan tua saja-

: bagaimana mungkin bìcara keadilan dan kemakmuran
Ketika petani berubah jadi kuli di tanahnya sendiri
sebab merdeka buat mereka malah terbebas
dari lahan garapannya; ketika buruh-buruh dihirap keringatnya,
sepanjang masa dan upahnya makin pahit saja!

sementara langit makin meninggi dan
pelangi tak bakalan muncul-muncul lagi

© nogoraji, 2000

serenada malam

I
hari sudah malam, Ufi. Benahi mainanMu
dalam kotak kayu. Berikut bola-bola
yang di dalamnya terjaga sedih kita semua
jika besok masih ada matahari
kìta tendang bola lagi
langsung ke ulu pagi

II
hari sudah malam, Puru. Telahkah kau baca buku
lihat dunia dari jendela
Ajak adikmu kembali
menembang daun kisi-kisi
dan pinggang desa yang sendu
makam leluhur para pandu

III
: di negeri para kumbang
telah lewat batas ambang
kedekatan dan kejauhanKu nyatu
nyata dan tak lagi beda;
kelahiranMu!

© kebumen, 2001

pulang

Makin jauh malam ke tengah
Berkelit dari teror kekalahan
Dan ke kìri tiap kali ada persimpangan

: o, sepasang lagi aku temukan
Anak-anak manis naik tangga ke atap cakrawala
Yang bermimpi merdeka seperti dambaan bapaknya

Makin jauh malam berlabuh
Makin jauh
Makin jauh

© Kebumen, April 2001

solitude

SOLITUDE PERTAMA
dalam sunyi kersik debu
dalam kunci dan katup-katup
dalam stupa yang tiada
kegusaran jadi lembab
udara yang terkili

SOLITUDE KEDUA
jika sunyi tubuh kerucut
onggokan piramid di laut gurun
mummi-mummi asing
dan kesumat para pertapa
berkejaran tanpa nama

SOLITUDE KETIGA
dalam sunyi ayat-ayat luruh
air di kurva kuning keruh
jelaga di tengah serambi
tanggal ke kubah tepi

© CandiAsu, Maret 2001

kekarah topeng

-sungguh pun ada Sahud, Simin, Parjo dan Marja-

kenapa -katamu- makin banyak
badut-badut panjul
kini garang ngalor-ngidul
berjalan digagahkan
pakai tenteng popor
tapi sengaja lupa bawa pelor

: kerna begitulah, memang
lakon para pelopor itu
jika berubah kendur tali kita
mereka mau curi sejarah buat kedua

© Caruy, 13 Maret 2001

sepotong roti

Sepotong roti di meja menteri
Adalah peluh para pekerja
Adalah keluh bagi lainnya

Sepotong roti di meja menteri
Memadat air mata membiru
di jaman makin tua membatu
Dan muka lebam mereka yang bekerja
Terbasuh hutang sekolam
Busung udara tiap perutnya

Sepotong roti di meja menteri
Terpejam padri-padri tengah memilin merjan
Keraguan ibu jarinya makin kentara

Sepotong roti di meja menteri
Menjelaskan kemiskinan telah diseduhkan
Sementara, makin tua suluh
Kegelapan bakal dibunuh
Dan di keruh kejunya yang bergamar kera
Makin memanjang cakar gurita.

Sepotong roti di meja menterì
Dimakan sehabis ditutup tiga do'anya
: tuhan, abadi dan terimakasih

© Bawen, 24 Februari 2001

tart

batu makin memberat, di bawah capingku
di ujung pelangi dan gundu globalisasi
ranum api tepi rimba, Yunda !
ke arah mana jaman bertiup hingga

© Jan 1, 2001

secang 190201

dupa belerang mengatapkan do'a siang, saudaraku
galau hati seribu santri
katup jaman ke atap Jakarta

: mereka telah tìup peluit pongah
mereka ajarkan bagaimana
cara bunuh rakyat lemah
hanya dengan mata sebelah!

tersungkur empat martir
darah sekubang pertigaan
timah sebesar dendam
usai dihambur-hamburkan

orang-orang pungut nyalinya
bersama gentar dan gerimis
dari sedu kawah Merapi
memanaskan kerak bumi

© Magelang, 19 Februari 2001

tart

batu makin memberat, di bawah capingku
di ujung pelangi dan gundu globalisasi
ranum api tepi rimba, Yunda !
ke arah mana jaman bertiup hingga

© Jan 1, 2001

seorang di atas mimbar

Dari atas mimbar tinggi, seorang Padri
Didampingi keraninya yang seksi
Beri ceramah berapi

“jika kelak ada pabrik besar di desa kita
sedulur-sedulur bakalan makmur
sebab akan musnah penganggur!”

Semua orang menyimaknya, terpesona.

“begini, aku berani bertaruh kursi
jika kalian mau teken jual beli”

Maka delapan tahun sesudahnya..

Orang yang sama, di tempat yang sama
Terguling dari kursinya

Dan hampir semua penduduk desa tiap hari
Masuk barisan kuli-kuli yang celaka
Sebab harus bekerja di atas tanah bekas miliknya

© Nagaraji, 2000

serenada langit merah

langit merah di atas Timika. Selestinus, perjaka tugur dengan bahu
rata; bangun dari makam suku dan pergi dari sunyi hutan sagu.
Bundanya hamparan tanah; beri ia perawan molek, hitam tanpa beha.
Engkaukah, Selestinus itu? Puing beteng di timur matahari
dengan tombak dekat ke bahu dan kapak pahat dari batu

Ya, o ya, aku Tinus dari makam suku, karah bulan dan renjana biru
Dengan mata kejora hilirkan kali, terdampar di bumi Jawa ini.

langit merah di atas Timika. Memayung perawan molek bumi Papua
bertahun-tahun Ia diperkosa. Mulut susunya dihisap, mulut matanya
dihisap; dihisap pula mulut-mulut lainnya.
Selestinus, mulutnya sakit, memerah saga warna matanya, memerah pula
kulit tifanya. Maka dicambukinya dengan dendam patah-patah

Ya, o ya, aku Tinus Separatus. Bapakku mati sebab dikebiri
Dikuliti hitamnya di zona tambang Tembagapura.

langit merah di atas Timika. Selestinus hilang masuk barisan
dengar genderang makin bertalu. Ia datang mengepung kota pelan-pelan
mulutnya bertahun membisu dan Jakarta yang buram terpeta
di benakmu. Selestinus Separatus hitam kulitnya menembus malam
dengan tombak dekat bahu dan menghitam kapak pahat dari batu.

- Semarang, 2000.

serenada pertama

Jika aku pergi, setelah purnama ke tujuh hanya ada
Senyap kita bagi semua. Betapa pun aku, dalam belenggu
darah dan meninggalkan benih kecambah. Betapa pun,
Telah kupahami bahasa akar semua perdu di ngarai desa
hingga bukit di utara. Setiap jengkal ranah, kemana jejak
tentujan arah; cinta tetap mengandungkan darah

Jika pun aku pergi, seorang diri, bergayutan kesedihan tua dan
Luar biasa. Masih ada puisi-puisi, rumah bagi hati;
Oase tengah hari

Jika pun aku pergi, makin jauh saja dari jendela yang telah
Tertutup daunnya; sebab kemiskinan bukan saja ada di sisi
rumah. Carut-marut jalanan telah makin jauh menyeret
langkah, ke tempat-tempat pelesiranmu dimana murung
terhanyutkan, tempat gelembung udara dipecahkan.
Dan seperti juga acap aku katakan ada ratusan desa-desa
sesungguhnya, lama menunggu kita. Tempat di mana ada
pasung buat tiap jentera yang mengurung anak-anak kita
dan di situ aku jadi aras: Gasing tanpa lenguh

Jika pun aku pergi, dan tak ingat bajuku lagi; tentu, karena
baju yang sama telah kau tanggalkan seluruhnya; tanpa sisa
Dan bagaimana aku berpikir untuk menggantinya. Jika begitu
banyak derita bagi lainnya...

Dan jika pun aku pergi, maka di sana tempatku kembali !

- Salatiga, 14 Desember 2000

serenada kedua

“Pernahkah kau dengar lenguh kerbau, wanitaku?”
desau angin lingkaran renjana. Dan bertahun-tahun
aku tegak di pusatnya: kemiskinan
di relung tanah Tuhan.
“Pernahkah kau dengar lenguhNya, wanitaku?”
ketika musim bajak tiba, ketika benih lalu ditabur
dan memanen di ranah subur

© desember 2000

serenada kesepuluh

Candi ke sepuluh setelah gedong terakhir dan tuan kuda
menarik beya, tentu akan membuat kerutan baru, entah
dimana bisa ditemukan rumahMu. Padahal, begitu dekatnya
sesungguhnya, rumah Kita; sebab setiap hari terus saja dilewati atau jangan-jangan cuma jelaga dalam hati.

“Pasti, itu cuma teka-teki”, sergahmu. “Tugur rumah tanpa kubah”
“Bukan”, aku potong. “Ia akan menjelaskan dari mana aku
datang dan sekaligus mengurungkan arah mana sekiranya aku pergi meninggalkanMu”
Ia dekat, begitu dekat; dan lebih tua dari hutan tua. Rimba pinus
dì tanah tinggi, tempat mana mengucur peluh petani desa ini,
bagian dari jiwa yaog pernah merdeka

Tentu, orang pelesiran itu, tak pernah mengira, sebab rintihan
paling menyedihkan memang pantas dilupakan. Tak peduli,
mimpi dari abad kemarin telah terbelenggu, oleh dua pilihan
: benteng tiran atau semua diserahkan!

Kini, makin terbuka pintuNya. Dan selalu tanpa jendela. Juga ketika
Kuda-kuda bergoyang; meninggalkan-Mu!

© gedongsongo, 2000

purnama pagihari

bagi: ena dwi p.

rembulan telah melemas di tengkukmu
terkalahkan subuh pada genggam perempuan
dari gunung, yang berbaris dan merunduk
meniti fajar dalam jebak kabut

: begitu banyak tanda di kakiNya
menjelaskan sejarah hari yang sesungguhnya
ena, bisakah kau putuskan
kepergian ke kota -lain kali- untuk menyusulnya
atau keburu kau kedinginan
dan meminta yang lain
sebelum mati
?

© banjarnegara, 2000

ranum

sungguh pun telah berat, udara melindih
perdu, hingga mendulum takjimnya
makin nyata dahan-dahan
mengembunkan penolakan

belasan padri, dengan jubah dari sutera
dan jalan-jalan ke arah kota
iman di tangannya memotong ngarai
duaja di atas bahu, kebat lidah-lidahmu

“tetap di situ, saudaraku
sebagaimana telah ditetapkan tuhan
yang berkenan menìadakan permusuhan”
kini, telah seperti hujan, tiap hari selama ini
dan dalam hujan, makin mekar payung-payung
jarum dan parasit menggumpal
lapuk pada tonggak, hamil oleh dahan

rimba telah jadi suaka
lebat dan kumal, getah kayu, kapak batu
di tangan serdadu besi
terjaga sekalian takdirNya

sungguh pun telah makin berat, udara melindih
perdu, kini dan hingga fajar pagi
: semua mengandungkan impi

© 2000

meeting de merlin

meeting di Merlin
di serambi yang menggantung
dì sarang laba-laba gunung.
meeting di Merlin
segerombolan demagoger
bertutur soal toga dan negara.
meeting dì Merlin
dari atas busa retorika
bergeser ke tengah podium sutera

: saudara-saudara, aa aa aaa
aku harap kalian semua tenang saja
krisis itu kaya buah semangka, aa aa aaa
yang tengah kami pecahkan
nasib rakyat nyata diutamakan.

meeting di Merlin
di luar; salah kemarau
teriak ribuan pendemo
: telah banyak yang kalìan omongkan
maka sebelum kamì jadi gelandangan
serahkan gaji-gaji kalian
yang dihimpun dari pajak
dan utang-utang yang ditimbun

meeting di Merlin
hingga sore barulah usai
dan jauh di sudut kampung
seorang dari desa pulang antre
menuding-nuding ke layar teve
: nah, ini dia jago kita
sejak kemarìn ia telah bicara
hal yang itu-itu juga !

© agustus 2000

serenada mengalir

serenada mengalir dari petani Nagaraji
yang sekarat dan mataNya melotot saja
beralun gambang dadaNya
mulut kelu, menahan badai ke dua bahu
: o, langit penuh debu lempung karsit
dijaga gurita dan banyak tentara!
telah lepas semua kenangan
bukit kapur, lahan-lahan subur
lagu malaikat yang berang, menghabisinya

serenada mengalir dari lagu buruh Turasih
yang tengah mengakrabi warisan kemìskinan
dan tergoda mulut tombak para tetangga
di sebalik sìsa perdu dan bising eksplorasi
rubuh tubuhNya ditindih para priyayi
: o, kali menghitam di tiap tegongan
jaring lelakiNya jauh sepi di tinggal ikan
air mata warna nila merkuris
orang desa kena asma dan sifilis
tiap malam penuh laknat
kelabu pula udara pada siangNya

serenada mengalir dari malam yang mengalir
bertahun-tahun dan tertimbun
menghanyutkan mimpi kemakmuran
terapung-apung di laut warna kelam

(orang-orang baru saja terjaga
mendapati telah lepas semua milikNya)

© gombong, november 2000

soliloqui

jangan mati manakala pemìskinan masih terjadi
ketika tanah air belum juga kembali
di halaman anyir darah masih terhembus sisanya
Oleh mesiu, hatiNya telah terkuka
Kau tahu, ini dada petani Mad Sali
Saringan martir yang terus dan terus terbelenggu
Setua bongkok masih begitu-begitu

Jangan tidur sore saat jarahan makin ramai
Di rentang petang buruh pulang lipatkan utang
Meski balaikota tetap penuh dengan bendera
Tapì pundinya cuma lipatan obligasi saja
Ini sore kìta dongengkan negeri kecil koloni
Yang tiap orang punya malam makìn ngeri
Sebab bingung makan gambar apa esok pagi

Jangan mati pula, sebelum kukenali kalian siapa
Patung keadilan seberang teritis
Peta kemakmuran di ladang buncis
Maka kukenali kalian tiap saban
Diwiridkan larut malam-malam
Lagu supremasi diam-diam
: o, bìla saja Kemenangan telah tiba !

© jakarta, agustus 2000

tanah cikal

tanah cikal tanah
serupa malam ia
siang dikucur peluh petani
gelap mengubur jerit nurani

: desa makin tua
tapi kemerdekaan itu belenggu tembaga

© tuntang, 16 april 2001

surat buat karto

Aku tulis surat ìni untukmu, Karto
Sebab Karto adalah Karto
Dan langit rawa begitu keruh
Di petang togkangmu berlabuh

Aku tulis surat ini untukmu, Karto
Sebab Karto adalah Karto
Dengan lumut-lumut hijau tua
Di lengan di pundak yang terbuka

© tambakboyo, 2001

selain kata

selain kata: Rubuhkan!
apalagi yang hendak kalian pertahankan
dari pagar-pagar tua tiap halaman?

Kesenjangan larut dalam pusing badai
Seteru makin menua dan tak terlerai

selain kata: Merdekakan!
apalagi soal yang bakal kalian tetapkan
omong besar dan janji-janji
-yang selalu- dijilat lagi?

Kecewa telah membusukkan seteru
Dan kami telah muak jadi budakmu

selain kata: Kobarkan!
ke depan banyak hal bakal kami kerjakan
mufakatan dalam perisai pipih
api Kurusetra dalam angin tak bermata

di luar Kata
maka ini taji penyairku

© 6 juni 2000

serenada sireplare

-sore masih kelabu di rumah Abu, ketika Ia
menutup doa dan membuka cekung mataNya
jauh dì atas rumputan kering samar-samar jelaga
cucunya telah jadi tujuh warna bianglala-

: dulu, nak. Di sini ada tawuran antar kampung
semua orang mabuk solidaritas salah kaprah
Aku puasa di atap rumah, mengunyah pepaya
yang bukan main rasa pahitnya
sembari melepas japa-mantra. Dan turun di hari ke tiga
pembantaian itu terjadi juga.
Suatu hari, ketika orang desa rebut tanah
dan yang lain tuntut naìk upah. Di hari Sabtu resah
selusin tetangga dimakan peluru biji timah
lepas lohor sekujur tubuh berlumur darah.

-sore tetap kelabu di mata Abu, ketika Ia berdiri
menyeduh kopi rebusan bratawali dan tak ada gula
sebab takut pasar telah penuh mata-mata
di luar, polutan industri mengepung suntuk hari-hari-

: dulu, nak. Tiap kali demukrasi ada pestanya
hìruk-pikuk pawai, kasak-kusuk partai
kata mereka, gambar-gambar mesti dicoblos
samar-samar tulang bahuku terasa keropos.
Lalu aku sakit bisu, sebab seluruh desa kena wabah pemilu
Suatu hari, nak. di bulan suci ke tiga
aku ditanya soal baju dan warna
dan Seperti biji mataku, kutunjukkan warna putih semua
tanpa kata aku digelandang ke markas tentara.

-sore makin kelabu dan di atas rumputan kering
tak lagi ada bianglala di langit bediding
bersungut Abu yang tua dan buta. Mengusut pipa rokoknya
di luar sore berjelaga, udara liwung penuh tuba-

© babat, gunungpegat, april 2001

serenada kekuasaan

: bagi Rust

-apalagi yang masih harus dipunguti di luar rumah
dari gerimis kecil, bau mesiu dan tabir yang koyak itu-

Kekuasaan, katamu. O, dukanya aku. Perang belum lagì selesai
Sia-sia mematahkan anak tangga di bawahnya. Kenapa?

Kekuasaan tak pernah punya keberanian buat banyak mendengar
meski telinga disemaikan dimana-mana dan Kemauan
dibangunkan dari kewajiban-kewajiban yang tak penuh dìpahami.
Kekuasaan adalah penindasan yang terus dipelihara
dari keharusan-keharusan yang terlalu ruwet buat dicerna
ia aras jentera, yang memuat duka Tuhan bersama doa para Rahib

-apalagi yang masih harus dipunguti di luar ini
dari remah roti, bau yang membusuk dan luka yang tertusuk?-

Kekuasaan, dalihmu. O, murkanya aku pada kemelut baru
Sia-sia merajut tali cinta memuat impìan petani di desa-desa

Kekuasaan adalah ketakutan yang paling tak masuk akal
yang menggetarkan katup-katup dan lubang anus
prasangka dialirkan lewat pìpa di kota-kota
Kekuasaan adalah kebekuan hati dan beteng tinggi
dimana angin dan air mata melekatkan lumut kelabu di wajahnya
pelan dan pasti. Korosi demi korosi melapukkannya
: maka kekuasaan adalah kejahatan paling sempurna !

© kedungpuji, maret 2000

kata slamet

kata slamet, jika mau slamet jangan mau makan suket
jadìlah manusia biasa saja dan tak usah istimewa
lepaskan rungut, sungut dan buntut

katanya pula, jadi manusia tak cukup hamburkan doa
menghiba ampunan sembari bersekutu dengan pendosa

kata slamet lagi -dan ia ngomong sendiri- jika mau
dicermati, maka bìang borok negeri ini
ada di bokong rampok berdasi,
mereka pakai jubah politìsi, rangkap njabat birokrasi
dan jadi tentara beragama dwi-fungsi

kata slamet, jadi rakyat itu tiba ruwet
apalagi jadi kuda, makan suket
kerja keras tiap hari, tapì matanya ditutupi
dan tak sempat lihat kitir obligasi
beban penuh satu cikar, disunggi saja hingga asar
bablas isya pulang rumah: keadaan tak pernah berubah!
Kata slamet, kunci obat mumet cuma mengelak jadi sremet
Ngalap banda bukan miliknya, nilep bagian bukan warisnya.

dan yang terakhir
kata slamet -sembari nyengir-
jika mau kaya jangan jadi penyair !

© sruweng, 2001

karah malam sepenggal

malam dungu di tanah hitam, pukul sembilan
belasan malaikat penjaga kampung
gagah berjihad di tiga lurung

katanya, ini kampung tuhan
tak boleh buat sembarangan
sedang kau, si laknat penghasut
malam ini menekuk lutut

malam dungu di kampung saleh, pukul sembilan
dan perempuan sebalik tirai
mengulang pengajian sore-sore

kabarnya, kini malam siaga penuh
anak alim kami menangkap teluh
atas firmanNya mesti dibunuh
sebelum fajar dì ambang subuh

malam dungu di kalisalak, pukul sebelas
tetua pongah bareng rantai tangan kemarin
datang tiba-tiba
dengan sepatu mendarat di muka

katanya, ini negeri tentara
biasa tembak sebelah mata
jika kau hasut kami dan kembali
maka itu pilihan mati

malam dungu di kampung mati, dinihari
belasan malaikat menikam sejarah
di hutan karet hutan kopi mana
jiwa-jiwa merana di bukit utara

© lemahireng, 6 mei 2001

kenapa mesti

kenapa mesti direbut, justru ketika sejarah
telah buktikan kemelut pemilikan

ya, karena sejarah pemilikan adalah sejarah
perebutan, yang nyatakan siapa milik siapa
dan menghapus semua milik bersama

sejarah pun mesti jadi milik siapa
dan mewakilinya jika harus bertanya, kenapa, ya

kenapa mesti dijawab, ya, ketika sesuatu
kekaburan -dan karenanya- kebohongan
ketika sendiri tidak dinyatakan bersama
dan ketika, bersama siapa milik siapa

semua jadi kacau Dan sejarah kekacauan itu
berawal dari dirimu

© juni 1998

karah kesiaan

sia-sìa
jika pun harus menetes darah dari mata
maka kegetiran hitam tersesat di bulunya
lentik dan pendar kunang, lidah api
mendenyutkan bumi karangkitri
sia-sia
dengan karah besi kendur di ujungnya
mereka dipinggirkan, dan duka
telah menjelma dari pekuburan-pekuburan
berbaris jadi pelayan kemakmuran
sia-sia
jika pun perang ganjil dibiarkan terjadi
keharusan-keharusan yang tak pernah kami mengerti
sebab yang diam ditulikan dan
yang bicara dibisukan
sia-sia
aku jajah tangis-Mu, Tuhan !

© mei 1996

wellcome to republic of jukung

-maka dengan ini kami proklamasikan negeri air-

selamat datang di negeri kayaraya
dengan rakyat yang kayakaya
dan petinggi yang kayakera

: jangan sungkan, saudaraku
anggap saja rumah sendiri
telah ada meja, timbangan dan dengung lebah
cukup untuk hidup megah

silahkan kalian foya-foya
main mata sesukamu
mandi besar semaumu

selamat datang di negeri kayaraya
sonder pajak, bui dan utang swasta
bebas belenggu, bebas perahu

: tak usah sungkan-sungkan
tokh kita telah lama tenggelam !

© banyumas, juni 2001